Korban Stereotype

Awalnya sih cuma iseng mengomentari status salah seorang teman di Facebook, topik yang dibahas seputar surat edaran menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi tentang “larangan” bagi PNS untuk mengadakan kegiatan di hotel. Iya, sengaja saya kasih tanda petik di kata larangan, karena isi surat edaran tersebut sebenarnya tidak melarang tapi membatasi. Sudah menjadi rahasia umum kalau di akhir tahun biasanya banyak instansi pemerintahan yang “menghabiskan” anggaran dengan cara mengadakan kegiatan. Kalau kita amati, di pengunjung tahun juga sering kali banyak pariwara/iklan kementerian yang muncul di televisi.

Diksi yang dipilih media sebagai tajuk rencana pemberitaan sedikit banyak, disadari atau tidak, memprovokasi pihak yang kontra terhadap kebijakan tersebut. Sebenarnya teman-teman saya ini bukan kontra terhadap kebijakan itu sih, hanya mereka merasa beberapa aturan yang dikeluarkan terkesan lebay. Mereka ini juga sedikit banyak merasa menjadi korban pandangan stereotype PNS. Selow aja mas bro, yang namanya stereotype ya gitu itu, gak beda dengan stereotype polisi yang suka mengutip pungli di jalanan, stereotype anggota dewan yang korup, stereotype pengendara sepeda motor di jalanan kota besar yang suka seenak-udelnya sendiri saat berkendara, dsb.

Kalau saya pribadi sih biasanya mencari tahu apa sebenarnya semangat di balik munculnya suatu aturan, jadi kita tidak merasa terpaksa menjalankan aturan tersebut. Apalagi saya ini termasuk orang yang tidak terlalu suka dengan aturan yang kaku :)

Dengan mengetahui semangat di balik munculnya suatu aturan, kita jadi bisa memahami alasan munculnya aturan tersebut. Meski pun kita tidak sepakat, setidaknya kita bisa memahami sudut pandang orang yang mengeluarkan aturan itu. Saya kasih contoh bagaimana kita bisa tersesat kalau hanya menerjemahkan aturan tertulis tanpa memperhatikan semangat yang ada di balik suatu aturan.

Kembali ke surat edaran menpan, sebenernya ada 3 surat edaran yang dikeluarkan. Dua edaran berbicara masalah peningkatan efektivitas dan efisiensi kerja, satu edaran lebih fokus menghimbau aparatur negara untuk hidup sederhana.

Ada himbauan untuk menyajikan menu makanan tradisional ketika rapat, kemudian himbauan ini diterjemahkan bahwa kalau rapat berarti kita harus menyajikan menu seperti singkong, ubi, dsb. Tidak sepenuhnya salah, tapi tafsir seperti ini bisa tidak tepat juga. Apa gunanya menyajikan singkong kalau ternyata singkong tersebut hasil dari impor? Padahal yang menjadi semangat di balik keluarnya aturan tersebut adalah untuk mendorong peningkatan produksi dalam negeri dan kedaulatan pangan.

Seperti yang sudah saya singgung di awal tulisan ini, sebenarnya tidak ada larangan bagi aparatur negara untuk mengadakan kegiatan di hotel atau di luar kantor. Mereka tetap diizinkan mengadakan kegiatan di luar dengan syarat-syarat tertentu. Syaratnya pun masuk akal kok, gak mengada-ada. Saran saya sih, coba baca dulu surat edarannya, jangan telan mentah-mentah berita yang ada di media.

Isi surat edaran yang menghimbau untuk hidup sederhana mungkin yang dianggap agak berlebihan karena sudah masuk ke wilayah personal.